HALLONESIA.ID, SAMARINDA — Di tengah maraknya praktik penyalahgunaan izin dan lemahnya kontrol negara atas sektor pertambangan, Anggota DPR RI Dapil Kalimantan Timur Syafruddin menyerukan agar pemerintah tidak tunduk pada kepentingan korporasi. Ia menegaskan, pengawasan tambang harus berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pada keuntungan perusahaan.
Hal itu disampaikan Syafruddin dalam diskusi publik Ngopi Minggu & Diskusi bertema “Pengawasan Pertambangan, Pemerintah Ngapain Aja” di Cafe Bagios, Samarinda, Minggu (12/10/2025).
Dalam forum yang juga menghadirkan Kabid Minerba ESDM Kaltim, Achmad Pranata, Syafruddin menyebut praktik tambang yang tak terkendali telah menimbulkan banyak luka sosial dan ekologis di Kalimantan Timur.
“Negara tidak boleh kalah dari tambang. Ketika BBM bersubsidi yang seharusnya untuk rakyat justru dinikmati korporasi, itu sudah bukan pelanggaran administrasi, tapi perampasan hak publik,” ujarnya tegas.
Politikus Komisi VII DPR RI itu mengungkapkan, terdapat 13 perusahaan yang diduga terlibat dalam praktik jual-beli BBM bersubsidi yang kini ditangani kejaksaan. Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto menjatuhkan sanksi tegas, bahkan mencabut izin operasi bagi perusahaan yang terbukti melanggar.
“Sanksi administratif tidak cukup. Kalau terbukti bersalah, izinnya harus dievaluasi dan dicabut,” katanya.
Syafruddin juga menyoroti langkah Kementerian ESDM yang menghentikan sementara operasi 36 perusahaan tambang legal di Kaltim karena belum menunaikan kewajiban jaminan reklamasi (jamrek). Menurutnya, kebijakan itu patut diapresiasi, namun tidak akan efektif tanpa sistem pengawasan yang memadai di lapangan.
“Jumlah inspektur tambang sangat minim, kendaraan operasional terbatas. Bagaimana bisa mengawasi ratusan izin tambang dengan sumber daya sekecil itu?” tuturnya.
Ia menilai, sistem pengawasan tambang seharusnya diperkuat di daerah, bukan hanya di pusat. DPR, lanjutnya, akan mendorong Kementerian ESDM untuk bertindak tegas terhadap perusahaan yang belum menyetor dana jamrek setelah masa tenggat 60 hari.
“Negara tak boleh memberi izin tanpa jaminan reklamasi. Kalau lewat batas waktu, cabut izinnya,” tegasnya lagi.
Tak hanya soal pengawasan, Syafruddin juga menyinggung ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) antar daerah penghasil sumber daya alam. Menurutnya, daerah seperti Kaltim justru sering kali tidak merasakan dampak ekonomi yang sepadan dengan kontribusi besar terhadap negara.
“Kaltim ini penyumbang besar, tapi bagi hasilnya tidak seimbang. Pemerintah harus berani menata ulang sistem pembagiannya,” ujarnya.
Pada bagian akhir diskusi, Syafruddin menyoroti dugaan perusakan hutan pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul) oleh perusahaan tambang. Ia menyebut tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran lingkungan, melainkan juga bentuk pengabaian terhadap dunia pendidikan.
“Hutan pendidikan itu simbol ilmu dan masa depan. Kalau dirusak, sama saja kita sedang menebang generasi berikutnya,” katanya.
Menurut Syafruddin, semua persoalan ini berpulang pada satu hal, yakni keberanian negara untuk melindungi rakyat di atas kepentingan modal.
“Kalau pengawasan tetap lemah dan penegakan hukum tumpul, maka sumber daya alam bukan jadi berkah, tapi kutukan,” pungkasnya.

